Wonderful Lombok Experience - Day 2

Here I come to tell you a story about Day 2 of My Wonderful Lombok Experience. You should read Day 1 first ya. Namun sebelumnya jika kalian melihat baju saya di foto sama dengan hari sebelumnya, itu berarti bukan saya tidak ganti baju. Warnanya saja yang sama #youcanignoreit #skip.


Baiklah, hari kedua bisa disebut hari yang paling menyenangkan dari hari lainnya selama perjalanan saya di Lombok. Kenapa? Karena matahari bersinar cerah dari terbit hingga terbenam. Tujuan kami adalah Bukit Merese, Tanjung Aan dan Pantai Kuta. Namun sebelum itu semua, saya dan teman saya harus pindah penginapan dulu dari The Semeton Homestay di Senggigi ke Ganesha Inn di Mataram. Sepanjang perjalanan dari Senggigi ke Mataram saya mengamati beberapa hal. Yang pertama adalah di Lombok tidak banyak jenis angkutan umum, ada sejenis angkot yang disebut Bemo. Mirip angkot yang ada di Jakarta hanya saja pintunya ada di belakang. Sisanya yang biasa kita sebut Delman. Di sana disebut Cidomo untuk yang memiliki atap sedangkan yang tidak beratap disebut Dokar. Kedua, semua siswi di Lombok sekolah dengan seragam muslim dan mengenakan Jilbab. Ketiga, meskipun pusat pemerintahan dan yang lainnya ada di Kota Mataram, seperti Kantor Walikota, Kantor Pusat Bank-Bank Swasta dan yang lainnya, di sana tidak ada gedung yang tingginya lebih dari 5 lantai (sepenglihatan saya, mohon maaf jika salah) dan itu membuat Kota Mataram terlihat sangat sederhana dan ramah lingkungan. Di perjalanan Yeyet juga sempat menunjukkan saya pada pasar yang buka 24 jam. Jujur saya cukup heran, karena waktu malam hari Lombok tak seramai Jakarta tapi ada pasar yang buka 24 jam. Marvelous.


Yeyet juga menunjukkan saya Taman Sangkareang yang menjadi taman kota. Tak terlalu besar namun sangat bersih dan tertata. Memasuki Kota Mataram saya di suguhi dengan tugu Gendang Bellek, saat masuk saya diperlihatkan oleh Yeyet sebuah Mesjid terbesar di Nusa Tenggara Barat yang disebut Islamic Center namun sayangnya karena belum lama baru dibangun. Belum dibuka untuk umum.



Tak menunggu lama, setelah check-in di Ganesha Inn kami langsung  berangkat lagi. Sempat berhenti sebentar ke Pasar Cakranegara. Pasar yang Yeyet bilang sangat cukup lengkap. Di sana saya membeli sebuah kaca mata sementara teman saya membeli sandal jepit.
Saran 2 (untuk traveler pemula): Jika belanja usahakan guide kita menemani. Jadi bisa ditawar lebih murah. Karena saya bandel akhirnya kacamata yang saya beli gagal ditawar dengan harga lebih murah lagi. Hehehe

Perjalanan ke Bukit Merese cukup jauh, kami harus melewati bandara dan masih jauh lagi. Sesampainya di lokasi kami hanya perlu membayar Rp. 5000 per motor. Dan saya langsung disuguhi birunya air Tanjung Aan. Berhubung pantai cukup ramai kami memutuskan untuk menanjak ke Bukit merese terlebih dulu. Sedikit melelahkan karena tidak terbiasa, namun angin yang bertiup kencang menyejukkan, belum lagi rumput hijau yang enak dipandang. Menurut informasi yang saya terima ketika musim panas semua rumput akan berubah kuning, jadi bersyukur saya mendatanginya saat rumputnya sudah hijau.



Saya sama sekali tak berekspektasi berlebihan tentang apa yang akan saya lihat begitu sampai di atas bukit. Saya pun sudah melihat birunya air Tanjung Aan ketika masih di bawah. Namun begitu kami sampai di ujung bukit pemandangan yang tidak bisa dipercaya saya dapatkan. Benar-benar indah, membuat tak ingin bergerak. Birunya air Tanjung Aan, birunya langit dan hijaunya bukit-bukit, mirip seperti gambar-gambar yang saya sering lihat di Kalendar.




Cukup lama di sisi Merese yang menghadap ke Tanjung Aan kami beralih ke sisi lain Merese, yaitu yang menghadap ke Laut lepas dan Pantai Kuta. Memang airnya tak sebiru Tanjung Aan karena pastinya kedalaman airnya berbeda, tapi dari sisi ini kami bisa melihat batu-batu yang ada di pantai yang jauh di bawah kami dan laut lepas yang benar-benar menyegarkan. Di sisi ini pun ada sebuah pohon yang berdiri seorang diri. Kalau tidak salah menangkap informasi, pohon ini dulunya sengaja ditanam/dibuat untuk keperluan syuting film. Tak masalah sengaja ditanam atau tidak, yang jelas pohon ini menambah keunikan Bukit Merese.




Lama di sisi yang menghadap Pantai Kuta kami melihat jauh di bawah ada segerombolan monyet yang berjalan ke arah bukit. Mereka memang menggemaskan, namun karena liar mereka galak dan bisa membahayakan. Jadi kami memilih menarik diri, sebelum tas kami ditarik dan perbekalan kami diambil oleh mereka #maafmonyetkitasuudzonsamakalian. Di sisi lain karena saya juga merasa mulai kembung, angin di Merese memenuhi perut saya.

Kami pun menuju ayunan Sama-Sama Café, saya juga belum tahu kenapa namanya seperti itu yang jelas ayunan ini adalah spot utama untuk berfoto orang-orang yang datang ke Tanjung Aan. Beruntung air tidak pasang sehingga tidak terlalu tinggi. Perlu mengantri untuk berfoto di ayunan ini. Juga perlu usaha untuk menaikinya karena tinggi.



Puas bermain di Bukit Merese dan Tanjung Aan kami beranjak untuk sholat. Setelah sholat kami memutuskan untuk meninggalkan lokasi. Awalnya memang kami berniat ke Pantai Kuta, namun karena ramainya Pantai Kuta menjelang Festival Bau Nyale, yang spanduk dan gambarnya banyak disepanjang jalan. Kami memutuskan hanya lewat dan meneruskan perjalanan ke Desa Sade.


Desa Sade adalah kampung tradisional Suku Sasak. Letaknya di pinggir jalan tapi keasliannya masih terjaga. Satu yang unik ketika memasuki Desa Sade adalah kita harus menggunakan Guide Lokal, yang tak lain adalah penduduk asli Sade. Untuk masalah bayaran, kita bayar seikhlasnya, tapi ya sepantasnya juga yaaa. Untuk biaya masuk Desa itu gratissss. Saya dipandu oleh seorang lelaki dari Desa Sade yang mempersilahkan kami duduk di bale tempat suku mereka sering membuat perkumpulan atau musyawarah. Menggunakan logat khasnya, beliau memperkenalkan kami tentang Desa Sade dan juga adat-adat mereka. Tradisi yang paling menarik perhatian saya adalah tradisi Menculik Wanita yang ingin dinikahi, dan tradisi mengepel rumah dengan kotoran kerbau.


Setelah diberikan history, kami diajak berkeliling untuk melihat-lihat desa yang nampaknya memang sudah dijadikan untuk destinasi wisata ini. Di sini kami melihat rumah asli suku Sasak dan Lumbung, tempat menyimpan padi. Lumbung ini adalah salah satu simbol khas Lombok, selama di Lombok kalian akan menemukan bentuk lumbung dimana-mana, seperti di pagar atau tiang lampu jalan dan sebagainya.


Di Desa Sade hampir semua rumah menjual oleh-oleh asli buatan mereka, seperti tas, kain sarung, songket, dan yang lainnya yang mereka tenun sendiri secara manual. Kita juga bisa melihat proses penenunan dan pembuatan benang, sekaligus mencobanya. Hal unik lainnya adalah Guide Suku Sasak yang menemani kita pasti akan membawa kita ke tempat istrinya berdagang. Meskipun tak ada aturan atau paksaan sama sekali kita harus membelinya di tempat tersebut. Di tempat istrinya berjualan saya dipersilahkan mencoba baju adat suku Sasak, yaitu Lambung. Dinamakan lambung karena panjangnya hanya sampai lambung, alias ngatung. Warnanya hitam. Sebagai padanannya kita bisa mengenakan kain atau songket. Di Desa Sade kita bisa membeli oleh-oleh bagus dengan harga cukup murah. Apalagi Yeyet pintar menawar harga. :D





Hari sudah semakin sore dan perut mulai terasa lapar, kami memutuskan untuk pulang. Namun sebelumnya kami berhenti dulu di sebuah rumah makan yang menyediakan Nasi Balap, salah satu makanan khas Lombok. Harga yang ditawarkan rumah makan ini pun tidak mahal. Nasi balap di kisaran harga Rp. 10.000 sampai Rp. 18.000 tergantung jenis lauk yang kita pilih. Untuk minuman, teh manis harganya Rp. 4.000 dan es kelapa Rp. 10.000. Murah kan? Setelah mengisi perut kami pulang menuju penginapan. Berharap hari esok secerah hari ini.

Komentar

  1. Leh uga tuh yg pke kemeja biru laut, udah ada yg lamar?

    BalasHapus
  2. bhahahhaha si fadil foto2nya doang diliatin kaya gw baca koran. guyur aja chingu guyuuuur.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wonderful Lombok Experience - Day 1

Hubungan Antara Kehamilan, Kucing dan TORCH